Dedi Mulyadi: Rakyat Sama Serakahnya dengan Pejabat
beritagram – Politikus senior dan mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan publik usai pernyataannya dalam sebuah diskusi publik viral di media sosial. Dalam acara yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube-nya, Dedi menyatakan bahwa “rakyat sebenarnya sama serakahnya dengan pejabat, hanya tidak punya akses kekuasaan.”
Pernyataan itu menuai beragam respons, dari yang menganggapnya sebagai refleksi jujur atas kondisi sosial Indonesia, hingga yang menilainya sebagai bentuk pelecehan terhadap rakyat kecil. Meski terkesan provokatif, ucapan Dedi seakan membuka kotak Pandora tentang relasi kekuasaan, moralitas, dan realitas sosial masyarakat kita.
Pernyataan yang Mengguncang
Dalam diskusi bertajuk “Korupsi dan Karakter Bangsa”, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa praktik kecurangan bukan hanya terjadi di kalangan elite. Ia mencontohkan perilaku masyarakat yang kerap mengambil keuntungan pribadi dari celah sistem, walaupun dalam skala kecil.
“Jangan kira rakyat tidak korup. Kalau dikasih kesempatan, banyak juga yang main akal. Ada yang nyogok untuk dapat bantuan sosial, ngaku miskin padahal punya tanah dua hektare, atau bawa pulang paku dari proyek pemerintah. Jadi kalau kita mau bicara jujur, serakah itu bukan milik pejabat saja,” ujar Dedi.
Menurutnya, moralitas tidak bisa dinilai hanya dari posisi sosial, melainkan dari perilaku saat mendapat atau tidak mendapat akses pada kekuasaan dan uang.
Respons Beragam dari Publik
Pernyataan Dedi ini langsung viral dan mengundang perdebatan panas. Di media sosial, tagar #DediMulyadi dan #RakyatVsPejabat sempat masuk jajaran trending. Banyak yang mengecam Dedi karena dianggap menyamakan rakyat kecil dengan pejabat korup yang merugikan negara triliunan rupiah.
“Saya rakyat kecil. Hidup pas-pasan. Tapi tidak pernah mencuri. Jangan samakan kami dengan pejabat yang punya kuasa dan tetap maling,” tulis akun X @pedagangwarteg.
Namun, tak sedikit pula yang membela Dedi. Mereka menilai bahwa apa yang disampaikannya adalah bentuk kritik sosial yang berani dan realistis.
“Ngomong jujur malah dimaki. Padahal benar, banyak juga rakyat yang nyari jalan pintas kalau bisa. Ini bukan soal kaya atau miskin, tapi mentalitas,” tulis akun @andikadarmawan.
Perspektif Sosiolog dan Pengamat Politik
Menanggapi polemik ini, sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. Lestari Nurhayati, menjelaskan bahwa apa yang disampaikan Dedi Mulyadi mengandung elemen kebenaran sosiologis.
“Korupsi tidak hanya soal jumlah dan jabatan. Dalam sosiologi, kita mengenal istilah ‘korupsi mikro’ — seperti menyalahgunakan wewenang kecil, mengambil hak orang lain dalam antrean, atau memalsukan data untuk keuntungan pribadi. Itu semua bentuk penyimpangan etika,” ujarnya.
Namun, Lestari juga mengingatkan bahwa menyamaratakan rakyat dan pejabat sebagai “sama-sama serakah” bisa menimbulkan sentimen negatif dan memperkuat ketidakpercayaan terhadap sistem.
Sementara itu, pengamat politik Ujang Komarudin menyebut bahwa pernyataan Dedi bisa jadi strategi komunikasi politik. “Dia berusaha membalik narasi. Di tengah masyarakat yang sering menyalahkan pejabat, Dedi mengajak kita berkaca juga ke bawah. Tapi ini berisiko. Jika salah dikemas, bisa jadi blunder,” katanya.
Dedi Mulyadi: “Saya Hanya Mengajak Jujur”
Menanggapi kritik yang datang, Dedi Mulyadi tidak mundur dari pernyataannya. Ia justru menegaskan bahwa ia hanya ingin publik bercermin dan tidak menutup mata terhadap praktik-praktik curang yang tumbuh subur di berbagai lapisan masyarakat.
“Saya bukan bilang rakyat itu jahat. Tapi kalau kita ingin perubahan dari atas, perubahan dari bawah juga harus dimulai. Jangan merasa suci hanya karena tidak punya kesempatan korup,” kata Dedi melalui akun Instagram resminya.
Pernyataan Dedi Mulyadi mungkin terdengar pahit, tapi membuka ruang diskusi yang penting: bahwa korupsi dan keserakahan tidak hanya persoalan struktural, melainkan juga kultural. Menyalahkan satu pihak tanpa introspeksi mungkin membuat kita merasa benar, tapi tidak membawa perubahan apa-apa.
