Maha Menteri Tedjowulan Tolak Hadiri Jumenengan Gusti Purboyo, Ini Alasan Lengkapnya
beritagram.web.id Suasana Keraton Kasunanan Surakarta kembali ramai diperbincangkan setelah Maha Menteri KG Panembahan Agung Tedjowulan menyatakan tidak akan menghadiri jumenengan Gusti Purboyo atau KGPAA Hamengkunegoro. Keputusan tersebut mengejutkan banyak pihak karena Tedjowulan adalah salah satu tokoh penting yang memiliki posisi strategis dalam struktur adat Keraton.
Ia menilai bahwa prosesi kenaikan tahta tersebut dilakukan terlalu cepat. Ada sejumlah adat yang menurutnya belum selesai dijalankan. Selain itu, ia juga menyinggung soal masa berkabung yang masih berlangsung, sehingga penobatan raja baru dianggap belum tepat dilakukan.
Penolakannya bukan sekadar ketidakhadiran pribadi, tetapi menjadi pernyataan politik budaya yang memiliki dampak besar terhadap dinamika internal Keraton.
Jumenengan yang Dipandang Terlalu Tergesa-gesa
Tedjowulan menilai bahwa jumenengan ini dilaksanakan dalam tempo yang terlalu cepat. Dalam tradisi Keraton, penobatan raja bukan hanya seremoni biasa, melainkan rangkaian panjang adat yang harus dipenuhi. Proses tersebut biasanya menggunakan perhitungan waktu yang matang, melibatkan para sesepuh, dan dilakukan setelah masa-masa tertentu dipenuhi dengan tepat.
Menurutnya, jumenengan yang berlangsung kali ini seolah tidak mengikuti standar dan tata cara yang berlaku secara turun-temurun. Ia menegaskan bahwa raja adalah simbol kesakralan budaya Jawa, sehingga kenaikan tahta harus dilakukan dengan kehati-hatian dan tidak boleh dilakukan secara terburu-buru.
Penilaian itu menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat, sebab jika benar prosesi tidak dilakukan dengan lengkap, legitimasi raja yang naik tahta bisa dipertanyakan.
Alasan Adat: Belum Sesuai Tata Keraton
Selain masalah waktu yang dianggap terlalu tergesa, Tedjowulan juga menyoroti aspek adat yang ia nilai belum terpenuhi secara utuh. Keraton Surakarta memiliki tata cara yang ketat dalam penobatan raja. Setiap langkah memiliki makna filosofis, spiritual, dan historis.
Tedjowulan merasa bahwa jumenengan tersebut tidak mengikuti urutan adat yang benar. Ia menyinggung perlunya restu dari berbagai pihak yang memiliki legitimasi budaya, seperti para abdi dalem senior, pemangku adat, dan keluarga besar Keraton.
Baginya, ketika adat tidak dipenuhi secara utuh, jumenengan menjadi kurang sah secara budaya. Hal inilah yang membuat ia memilih untuk tidak hadir, meskipun kehadirannya dapat memperkuat legitimasi raja baru.
Masa Berkabung yang Menjadi Sorotan
Alasan lain yang disampaikan Tedjowulan adalah masa berkabung yang menurutnya belum selesai. Dalam budaya Jawa, masa berkabung memiliki aturan yang harus dihormati sebelum raja baru dinobatkan. Masa ini memberi kesempatan bagi keluarga besar dan masyarakat Keraton untuk menghormati pemimpin sebelumnya.
Tedjowulan menilai bahwa jumenengan seharusnya dilakukan setelah masa tersebut dilalui sepenuhnya. Jika dilakukan terlalu cepat, proses penobatan dianggap melanggar etika budaya dan dinilai kurang pantas secara moral.
Baginya, menghormati leluhur dan pemimpin sebelumnya adalah bagian dari ajaran luhur Keraton Surakarta yang tidak boleh diabaikan, apa pun alasannya.
Status Penobatan Hangabehi dan Hamengkunegoro yang Dianggap Belum Sah
Dalam pernyataannya, Tedjowulan juga menyinggung sah atau tidaknya penobatan KGPAA Hangabehi maupun KGPH Hamengkunegoro. Ia menyatakan bahwa penobatan mereka belum memenuhi syarat-syarat formal maupun adat Keraton.
Menurut pandangannya, ada ketidaksempurnaan dalam proses legitimasi, baik dari sisi adat maupun struktur internal Keraton. Ia menegaskan bahwa sebuah penobatan harus memenuhi semua unsur yang telah diatur dalam tradisi Keraton Surakarta, termasuk restu para pemangku adat.
Pernyataan ini membawa dampak besar karena memunculkan wacana bahwa dualisme atau friksi internal masih terjadi di lingkungan Keraton. Publik pun kembali mempertanyakan arah kepemimpinan Keraton Surakarta ke depan.
Dampak Penolakan terhadap Dinamika Keraton
Penolakan Tedjowulan bukan hanya sikap pribadi, tetapi sinyal bahwa Keraton Surakarta masih menghadapi dinamika internal yang belum selesai. Ketegangan antar kubu dalam Keraton bukanlah hal baru; namun pernyataan seorang Maha Menteri memiliki bobot besar dan dapat mengguncang stabilitas struktur adat.
Beberapa pihak menilai bahwa penolakan ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan mengenai legitimasi raja baru. Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini bisa membuka diskusi lebih luas tentang pembenahan tata kelola Keraton di masa mendatang.
Di mata publik, ketegangan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa warisan budaya Jawa yang seharusnya menjadi simbol keharmonisan justru kembali diwarnai konflik internal.
Reaksi Publik dan Pengamat Budaya
Pengamat budaya Jawa memberikan beragam tanggapan terhadap sikap Tedjowulan. Sebagian menganggap bahwa sikapnya wajar, karena ia dikenal sebagai sosok yang sangat memegang teguh pakem adat. Ketidakhadirannya menjadi bentuk protes sekaligus cara mempertahankan kesakralan adat Keraton.
Sebaliknya, ada juga yang berpendapat bahwa kondisi Keraton saat ini membutuhkan stabilitas, sehingga pernyataan keras semacam ini bisa memperpanjang konflik. Mereka berharap ada ruang musyawarah yang bisa menjadi jembatan antar kubu.
Publik awam turut mengikuti perkembangan ini dengan rasa ingin tahu, mengingat isu Keraton Surakarta kerap menjadi perhatian nasional setiap kali terjadi dinamika di dalamnya.

Cek Juga Artikel Dari Platform mabar.online
